Putus Cinta dan Dialog Eksistensial dengan Diri Sendiri

oleh -116 views

Penulis : Nazwa Lutfi Aulia

Mahasiswa psikologi Fakultas ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Semester : 2
Kelas : E-2 Daerah asal : Kab. Bekasi

Putus cinta itu ga enak. Rasanya campur aduk sedih, kecewa, marah, bahkan kadang bingung sendiri harus ngapain. Tapi di balik semua perasaan yang nggak nyaman itu, ada satu hal penting yang sering luput kita sadari: putus cinta membuka ruang untuk bertemu lagi dengan diri sendiri. Kalau ngomongin soal perjumpaan dengan diri sendiri, ga bisa lepas dari pemikiran Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis dari Denmark. Kierkegaard percaya bahwa hidup itu soal menjadi diri sendiri secara otentik bukan hidup berdasarkan ekspektasi orang lain, bukan juga sekedar ikut arus. Nah, momen putus cinta seringkali justru jadi titik balik penting buat mulai mempertanyakan hal-hal besar dalam hidup: “Siapa aku tanpa dia?” atau Apa sih yang sebenarnya aku mau, bukan karena pasangan, tapi karena aku sendiri? (Kierkegaard, 1849).

“Siapa aku tanpa dia?” atau Apa sih yang sebenarnya aku mau, bukan karena pasangan, tapi karena aku sendiri? (Kierkegaard, 1849).

Dalam pemikiran Kierkegaard, ada istilah “kecemasan eksistensial” atau angst. Ini beda dengan stres biasa kayak takut nggak lulus ujian. Angst itu muncul saat kita sadar bahwa kita bebas menentukan hidup kita sendiri, tanpa ada yang mengarahkan atau menjamin hasilnya. Nah, setelah putus, kita benar-benar dihadapkan sama kebebasan itu. Ga ada lagi kata “kita”, yang ada hanya “aku”. Bebas, tapi juga bikin takut. Karena sekarang semua pilihan ada di tangan kita, dan kita harus bertanggung jawab penuh atas hidup sendiri (Kierkegaard, 1844). Waktu kehilangan seseorang, kecemasan ini muncul kuat banget. Ada perasaan kosong, bingung, bahkan takut menghadapi hari-hari ke depan sendirian. Tapi justru dalam kecemasan itulah, kata Kierkegaard, kita menemukan kesempatan untuk bertumbuh. Bukan bertumbuh jadi versi diri yang dipoles untuk orang lain, tapi jadi versi diri yang jujur dan otentik.

Ga ada lagi kata “kita”, yang ada hanya “aku”. Bebas, tapi juga bikin takut. Karena sekarang semua pilihan ada di tangan kita, dan kita harus bertanggung jawab penuh atas hidup sendiri (Kierkegaard, 1844).

Tentu, perjalanan ini nggak mulus. Seringkali, kita terjebak dalam fase “putus asa” yang dibahas Kierkegaard. Putus asa bukan berarti kita kelihatan sedih terus-terusan. Justru kadang orang yang terlihat baik-baik aja itu yang sebenarnya belum benar-benar menerima kenyataan. Dalam hati, mereka masih menyangkal bahwa hubungan itu benar-benar selesai. Mereka mungkin mencari pengganti cepat-cepat atau membenamkan diri dalam kesibukan supaya nggak perlu berhadapan dengan rasa sakit. Tapi menunda rasa sakit hanya akan memperlama proses penyembuhan (Kierkegaard, 1849).

Menghadapi putus asa ini, langkah pertama adalah berani jujur pada diri sendiri. Mengakui bahwa kita terluka. Mengakui bahwa kita kehilangan sesuatu yang penting. Dan yang paling susah: mengakui bahwa kita nggak bisa mengontrol semua hal, termasuk perasaan orang lain. Tapi justru dari kejujuran inilah perjalanan pemulihan bisa benar-benar dimulai.

Di sinilah konsep lompatan iman (leap of faith) dari Kierkegaard jadi penting. Lompatan iman adalah keberanian untuk tetap melangkah walaupun masa depan nggak pasti. Dalam konteks putus cinta, ini artinya berani percaya bahwa luka ini akan sembuh. Berani percaya bahwa diri kita cukup, bahkan tanpa validasi dari hubungan yang gagal. Dan, kalau suatu saat nanti siap, berani membuka hati lagi untuk mencintai dengan pemahaman yang lebih dewasa dan penuh kesadaran.

Proses ini memang berat. Ada hari-hari di mana kita merasa baik-baik saja, tapi ada juga hari-hari di mana rasa rindu atau rasa marah tiba-tiba menyerang. Ini semua bagian dari perjalanan. Ga perlu buru-buru sembuh, ga perlu merasa bersalah kalau hari ini terasa berat. Yang penting adalah terus bergerak, sekecil apapun langkah itu.

Kalau dipikir-pikir, putus cinta itu semacam laboratorium jiwa. Kita belajar banyak hal yang nggak mungkin kita pelajari dalam kondisi nyaman. Kita belajar soal kehilangan, soal bertahan, soal menemukan makna baru dalam hidup. Seperti kata Leonard Cohen dalam lagunya, “There’s a crack in everything, that’s how the light gets in.”. Luka itu bukan akhir, tapi justru pintu masuk bagi cahaya untuk masuk ke dalam hidup kita.

Pada akhirnya, putus cinta bukan hanya soal berakhirnya sebuah hubungan. Ia adalah undangan untuk perjalanan ke dalam diri sendiri. Perjalanan untuk bertanya, mencari, menangis, tertawa, dan pada akhirnya, menerima. Karena pada akhirnya, yang paling penting bukan siapa yang ada di samping kita, tapi bagaimana kita berdamai dengan diri sendiri. Gapapa  kalau prosesnya pelan, gapapa  kalau kadang masih ada hari di mana kita ngerasa sedih. Yang penting, kita tetap bergerak maju. Karena setiap langkah kecil menuju pemahaman diri itu berharga. Setiap hari yang kita lalui dengan berani adalah bukti bahwa kita bertumbuh.

Seperti lompatan iman yang dibahas Kierkegaard, mungkin kita nggak pernah tahu persis ke mana perjalanan ini akan membawa. Tapi keberanian untuk terus melangkah, bahkan saat hati masih rapuh, adalah bukti bahwa kita memilih untuk hidup sepenuhnya bukan sekadar bertahan. Dan itu adalah kemenangan terbesar kita.

REFERENSI

Kostov, N., FrSo, A., & Ringstad, M. (2018). Existentialism & psychology: A brief look at the Kierkegaardian perspective. St. Olaf College. https://wp.stolaf.edu/philosophy/files/2018/05/Kostov-FrSo-Ringstad-2018.pdf

Yulianti, N. P. (2022). Keputusasaan menurut Kierkegaard dalam The Sickness Unto Death. Jurnal Filsafat Indonesia, 5(2), 100–110. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JFI/article/view/47334/26168