Mengenali Rasa Iri: Sebuah Refleksi Ilmiah terhadap Emosi Sehari-hari

oleh -14 views

Penulis : Fatimah
Mahasiswa : semester 2 di Universitas Brawijaya Fakultas, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Psikologi
Asal daerah : Cirebon . NIM : 245120307111069

ilustrasi iri : Istimewa

Rasa iri adalah bagian dari spektrum emosi yang paling dalam yang dimiliki manusia dan sering muncul dalam kehidupan sosial sehari-hari, tetapi jarang mendapat perhatian yang cukup. Secara umum, iri dianggap sebagai perasaan negatif. Namun, jika dilihat dari sudut pandang logika penyelidikan ilmiah, iri adalah fenomena yang kompleks dan memungkinkan kita untuk memahami lebih dalam tentang diri kita sendiri. Logika penyelidikan ilmiah melibatkan proses pengamatan, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, dan penarikan kesimpulan.

Fatimah

Rasa iri bukan tanpa alasan. Ia adalah reaksi terhadap pengamatan sosial, yang merupakan hasil dari perbandingan antara orang lain dan diri sendiri. Pengalaman inderawi, seperti melihat kemampuan orang lain, adalah sumber utama pengetahuan, menurut prinsip empirisme. Seorang siswa, misalnya, iri ketika temannya menang dalam lomba karya tulis ilmiah. Secara ilmiah, ini dapat digambarkan sebagai kumpulan pengalaman yang menciptakan standar dan harapan pribadi, yang kemudian menimbulkan rasa kekurangan saat pembandingan terjadi.

Socrates mengajarkan bahwa pengenalan diri adalah dasar menuju kebenaran jika dilihat melalui lensa filsafat klasik. Kita dapat menemukan ketidaktahuan yang tersembunyi dalam diri kita dengan mengajukan pertanyaan seperti, “Mengapa saya iri?”.

Baca Juga : https://suarapendidikan.net/putus-cinta-dan-dialog-eksistensial-dengan-diri-sendiri/

Rasa iri bukan hanya tentang kekurangan materi, tetapi juga tentang ketidakpuasan hidup. Plato memperkuat gagasan idealismenya dengan mengatakan bahwa dunia nyata yang dilihat oleh mata hanyalah representasi dari dunia ide. Karena iri, yang kita cari bukanlah keberhasilan orang lain itu sendiri, tetapi konsep-konsep ideal tentang “pengakuan”, “harga diri”, atau “kebahagiaan”. Namun,  Aristoteles lebih menekankan pendekatan empiris, yang mengatakan bahwa kebenaran harus sesuai dengan realitas. Dari sisi lain, rasa iri menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara gambaran yang kita buat tentang diri kita dan keadaan sebenarnya.

Baca Juga : https://suarapendidikan.net/ilmu-tanpa-logika/

Foto : Doc.Istimewa

Kita bertanya apa sebenarnya rasa iri dalam kerangka ontologi. Apakah iri adalah komponen utama dari eksistensi manusia sebagai makhluk sosial? Menurut ontologi, segala sesuatu yang ada, termasuk emosi, harus dipahami dari keberadaannya yang sebenarnya. Namun, fokus epistemologi adalah bagaimana pengetahuan tentang iri dibangun. Kita mengenali rasa iri melalui pengalaman pribadi dan sosial kita. Kita dapat mengevaluasi kebenarannya dengan berpikir: apakah kita iri karena orang lain lebih baik atau karena kita merasa kita tidak memenuhi standar kita sendiri? Prinsip-prinsip ilmiah digunakan dalam proses reflektif ini, termasuk perumusan masalah, penyusunan hipo ; Mengapa saya iri?, tesis ; saya iri karena merasa tidak cukup diakui, verifikasi ; apakah saya merasa pengalaman sehari-hari mendukung hipotesis ini, dan akhirnya penarikan kesimpulan.

Konsep tentang “kebenaran” sendiri berkembang selama perkembangan kebenaran ilmiah, mulai dari era dogmatis pada abad pertengahan hingga rasional, empiris di era modern,  pragmatis, dan fenomenologis di era modern. Demikian pula kita harus mengubah cara kita melihat iri, dari sekadar menganggapnya sebagai emosi buruk menjadi melihatnya sebagai kesempatan untuk berpikir tentang diri kita sendiri.

Menurut pragmatisme, kebenaran suatu ide ditentukan oleh kegunaan praktisnya. Dalam pandangan ini, rasa iri adalah sinyal bahwa ada kebutuhan internal yang perlu diidentifikasi dan dikembangkan. Metode yang ditawarkan oleh fenomenologi (Husserl) memungkinkan kita untuk kembali ke pengalaman murni. Artinya, kita tidak menghakimi rasa iri sebagai sesuatu yang buruk secara langsung; sebaliknya, kita melihat bagaimana ia hadir dalam kesadaran kita dan apa arti terdalam yang bisa dipetik darinya. Dalam fenomenologi, semua emosi, termasuk iri, dianggap sebagai gejala kesadaran yang memiliki struktur dan makna. Dengan menggunakan metode reduksi fenomenologis, kita dapat “menahan” semua prasangka iri sebagai hal yang buruk atau negatif, dan kemudian menggali apa esensi pengalaman tersebut dalam diri kita.

Sementara itu, eksistensialisme, seperti yang dijelaskan oleh Jean-Paul Sartre, menekankan bahwa menciptakan makna diri sendiri adalah cara terbaik untuk hidup. Oleh karena itu, rasa iri menunjukkan kegagalan kita untuk hidup secara nyata dan juga menginspirasi kita untuk kembali ke jati diri kita yang sebenarnya. Sartre menyatakan bahwa membandingkan diri dengan orang lain adalah cara untuk “hidup tidak autentik” karena, menurut eksistensialisme, manusia memiliki tanggung jawab penuh atas makna yang mereka ciptakan sendiri.

Dari sudut pandang aksiologi, yaitu studi tentang nilai, iri hati dapat dianggap bernilai jika diolah dengan benar. Menangani rasa iri secara reflektif dapat meningkatkan kesadaran diri kita, membantu menetapkan tujuan hidup yang lebih asli, membebaskan kita dari ketergantungan pada bukti dari luar, dan meningkatkan kedamaian dan integritas batin. Dalam situasi seperti ini, merenungkan rasa iri menjadi semacam “tugas eksistensial”, di mana seseorang diajak untuk mempertanyakan nilai sejati yang ingin ia capai dalam hidupnya sendiri, bukan hanya apa yang dimiliki orang lain. Dengan mengakui rasa iri, kita melakukan fungsi refleksi diri yang bersifat ilmiah, yaitu mengumpulkan “data batin” dari pengalaman emosional kita, menyusunnya dalam kerangka berpikir sistematis, dan membuat kesimpulan yang meningkatkan makna hidup kita. Maka rasa iri bukanlah musuh yang harus dihilangkan; itu adalah guru batin yang membantu kita berkembang ke arah kehidupan yang lebih sadar, jujur, dan asli.

Kita sekarang tahu bahwa iri bukan sekadar emosi yang buruk; itu adalah jalan menuju pengembangan diri yang lebih baik jika kita menggabungkan pendekatan logika ilmiah, ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Rasa iri dapat diubah menjadi peluang untuk menjadi manusia yang lebih berdaya, bermakna, dan sejati dalam menjalani kehidupan setelah melakukan penyelidikan ilmiah yang jujur dan refleksi filosofis yang mendalam.