Kenapa Psedoscience Lebih Menarik dari Fakta ?
“Di media sosial, siapa pun bisa menjadi bahkan terlihat “ahli”. Cukup dengan modal follower dan narasi menarik, seseorang bisa menyebarkan “fakta alternatif” yang menyesatkan ribuan orang. Terutama jika dibungkus dengan kalimat seperti “sudah terbukti sejak zaman nenek moyang”. Syifa
Pada era informasi yang serba cepat seperti sekarang, kita bukan harus menavigasi badai omong kosong atau berita. Salah satu hal yang sering menyamar sebagai kebenaran adalah pseudoscience alias “ilmu semu”. Seperti sains, berbicara seperti sains, tapi pada dasarnya tak lebih dari dongeng modern yang dibungkus atau dilapisi kata “ilmiah”.
Contoh pseudoscience sangat dekat dengan kehidupan kita. Dari klaim penyembuhan ajaib melalui energi suatu benda, mitos vaksin menyebabkan autisme, sampai diet-diet ekstrem tanpa dasar medis semuanya punya satu kesamaan yaitu terlihat meyakinkan, tapi tidak diuji secara ilmiah.
Mengapa pseudoscience begitu menarik? Jawabannya sederhana karena ia memberikan harapan untuk solusi instan bahkan terkadang menjawab keresahan yang tak mampu dijelaskan oleh ilmu sains. Dalam banyak kasus, pseudoscience menjanjikan jalan pintas, sementara sains sejati menuntut proses panjang, penuh uji coba.
Ironisnya, di tengah kemajuan teknologi dan informasi, kepercayaan pada pseudoscience justru semakin menyebar luas. Di media sosial, siapa pun bisa menjadi bahkan terlihat “ahli”. Cukup dengan modal follower dan narasi menarik, seseorang bisa menyebarkan “fakta alternatif” yang menyesatkan ribuan orang. Terutama jika dibungkus dengan kalimat seperti “sudah terbukti sejak zaman nenek moyang”.
Cantoh lain dari pseudoscience adalah penyembuhan batu kristal . Dia dianggap dapat menetralisir, bahkan menyembuhkan berbagai penyakit. Caranya menggunakannya gak rumit. Cukup Batu Kristal diletakkan di bagian tubuh yang dikeluhkan, atau dipakai aksesoris. Berupa kalung, gelang, ikat pinggang atau lainnya. Katanya, aksesoris itu depat menyalurkan energi positif ke dalam tubuh, dan mengeluarkan energi negatif serta penyakit orang yang mengenakannya.
Tentu kita tidak bisa memusuhi tradisi atau kepercayaan begitu saja, tetapi perlunya untuk membedakan mana yang merupakan pengalaman pribadi dan mana yang benar-benar bisa diuji ulang secara objektif. Sains ada untuk membuktikan dengan data sebuah pernyataan. Memang banyak orang yang akan tergiring dengan ungkapan “berdasarkan kisah nyata” yang kemudian mereka sendiri akan melakukan cocoklogi dengan pengalaman yang mereka alami.
Ingin terhindar dari pseudoscience?. Gampang. Perhatikan bila ada informasi yang bersifat pernyataan, klaim, promosi atau fatwa agama yang kurang meyakinkan, cukup mulai dengan pertanyaan sederhana “Dari mana datanya?” atau “Sudah diuji di mana oleh siapa?” . Itu saja bisa menjadi tembok yang sangat ampuh melawan arus pseudoscience yang kian deras.
Akhirnya, memilih percaya pada sains bukan berarti jadi anti tradisi. Tapi ini soal keberanian untuk berpikir rasional di tengah banjir klaim sensasional. Karena dalam dunia yang penuh suara, nalar sehat adalah satu-satunya kompas yang bisa menyelamatkan kita.
Penulis : Naila Syifa Nur Zahidah. Mahasiswa Kelas 2 E, Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Angkatan 2024 Universitas Brawijaya.
Editor : Jim