JAKARTA.suarapendidikan.net. Sejak Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 hingga kini, posisi Menteri Pendidikan telah berganti lebih dari 45 kali, jika setiap reshuffle kabinet dihitung sebagai pergantian. Ini mencerminkan frekuensi perubahan kepemimpinan yang sangat tinggi, dan secara tidak langsung berdampak pada arah kebijakan pendidikan nasional. Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., mulai Oktober 2024 ketiban sampur sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia. Langsung tancap gas. Program Deep Learning. Lalu bagaimana kualitas pendidikan nasional saat ini?
Meski ada kemajuan di beberapa aspek—seperti meningkatnya angka partisipasi sekolah dan penetrasi teknologi—kualitas pendidikan nasional masih menghadapi sejumlah tantangan serius, antara lain:Hasil Belajar Siswa Masih Rendah. Faktanya, Indonesia masih menempati peringkat bawah dalam survei internasional seperti:
- PISA (Programme for International Student Assessment) 2018: skor literasi, matematika, dan sains siswa Indonesia berada di 10 besar terbawah dari 79 negara.
- PISA 2022 (rilis awal): menunjukkan stagnasi atau bahkan penurunan di beberapa aspek kemampuan berpikir kritis.
Dampak gonta-ganti menteri yang disertai perubahan kurikulum yang terlalu sering, mengakibatkan Guru dan siswa tidak punya waktu cukup untuk beradaptasi. Nahasnya lagi, kurikulum menjadi proyek politik, bukan kebijakan jangka panjang berbasis riset pendidikan. Selanjutnya tidak adanya kebijakan pendidikan yang berkelanjutan dan konsisten. Setiap menteri cenderung membawa “brand” sendiri, bukan melanjutkan apa yang sudah baik. Dan yang mengenaskan Pendidikan menjadi ajang uji coba, bukan sistem yang kokoh.
Pendidikan nasional memerlukan visi jangka panjang, bukan hanya program jangka pendek. Stabilitas kebijakan, profesionalisme guru, pemerataan akses, dan relevansi dengan masa depan harus menjadi prioritas. Kita butuh bukan sekadar menteri yang cerdas, tapi juga konsisten, kolaboratif, dan berpihak pada rakyat kecil—agar setiap anak Indonesia bisa mendapat pendidikan yang bermutu, bukan hanya janji di atas kertas.
Salah satu gebrakan terbaru dari Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia adalah mendorong pendekatan Deep Learning dalam pembelajaran. Istilah ini—yang sering dikaitkan dengan kecerdasan buatan atau pembelajaran mendalam secara konseptual—digunakan untuk menandai pergeseran dari sekadar hafalan menuju pemahaman mendalam, berpikir kritis, dan pemecahan masalah. Namun, kebijakan ini mengundang pertanyaan besar: Apakah ekosistem pendidikan kita siap?
Kurikulum dan Deep Learning: Gagasan Canggih, Tapi Siapa yang Siap?
Secara ide, Deep Learning memang menarik dan progresif. Ia mendorong guru untuk membina proses berpikir yang kompleks pada siswa sejak dini. Ini tentu selaras dengan kebutuhan zaman, di mana dunia kerja dan kehidupan nyata memerlukan generasi yang mampu berpikir analitis, kolaboratif, dan reflektif. Namun, seperti banyak kebijakan pendidikan lain sebelumnya, semangat mulia ini terancam gagal karena tidak diimbangi dengan kesiapan di tingkat dasar.
Tak kalah penting, kurikulum yang berubah-ubah dalam waktu singkat telah membuat guru dan siswa kelelahan. Setelah sebelumnya menyesuaikan diri dengan Kurikulum 2013, lalu disusul Kurikulum Darurat saat pandemi, kini mereka dihadapkan pada Kurikulum Merdeka yang membawa konsep baru seperti projek profil pelajar Pancasila dan deep learning. Tanpa waktu adaptasi yang memadai, perubahan kurikulum justru membuat proses belajar tak stabil.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah perlu menyadari bahwa keberhasilan kurikulum bukan ditentukan oleh jargon dan publikasi, tapi oleh seberapa dalam guru memahami dan menerapkannya di ruang kelas. Jika tidak, maka deep learning hanya akan menjadi “lip service” yang tidak berdampak. Kurikulum yang baik bukan hanya yang canggih secara konsep, tetapi yang membumi secara implementasi. Deep learning adalah ide besar, namun jika diterapkan tanpa kesiapan, ia justru memperlebar ketimpangan pendidikan.
Antara Kebijakan Populis dan Realitas di Lapangan
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia saat ini aktif mempromosikan berbagai program inovatif demi mendorong kualitas pendidikan nasional. Namun, di balik gebrakan program-program tersebut, terdapat sejumlah kebijakan yang patut dikritisi, terutama dalam hal implementasi di lapangan dan kesesuaian dengan kondisi nyata para pelaku pendidikan, khususnya di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
Salah satu program yang banyak mendapat sorotan adalah digitalisasi pendidikan. Menteri giat mendorong penggunaan platform daring dan pengembangan sekolah digital, termasuk penyediaan perangkat TIK (teknologi informasi dan komunikasi) ke sekolah-sekolah. Walau tampaknya modern dan progresif, kenyataannya masih banyak sekolah dasar dan menengah, terutama di daerah terpencil, yang belum memiliki jaringan internet stabil, listrik memadai, apalagi tenaga pendidik yang terlatih dalam teknologi digital. Akibatnya, program ini rawan menjadi simbolis belaka—menarik di atas kertas namun gagal menyentuh kebutuhan konkret di lapangan.
CATATAN REDAKSI :
ULUL AZMI, S.Ag.
Pemimpin Umum Suara Pendidikan