Misteri Desa Tulungrejo Kota Batu

oleh -9 views

 Mitos Danyang sebagai pembabat alas dan sebagai pelindung desa, hingga kini masih tetap dipercayai oleh masyarakat Junggo Kota Batu. Masyarakat sangat menghormati keberadaan danyang tersebut karena mereka menganggap Eyang Jugo. Eyang Jugo adalah seorang Raja dari Keraton Solo pada Kerajaan Mataram Hindu. Pada tahun 1406 Saka, Eyang Jugo dan Mbah Giyek pindah ke daerah Junggo ini diikuti oleh senopatinya yang bernama samaran Senopati Mbah Ronoyudo, terbukti dengan adanya kuburan di sebelah utara SD Negeri Tulungrejo II terdapat kuburannya Mbah Ronoyudo yang menurut kepercayaan warga Junggo dianggap sebagai Dah Yang atau Sing Bedah Eyang artinya yang membuka daerah tersebut pertama kali. Istilah Dah Yang sekarang ini diartikan sebagai Danyang atau dianggap orang saat ini sebagai penunggunya. Tetapi menurut kepercayaan umat Hindu dianggap sebagai Roh Suci karena telah dianggap berjasa pada daerah setempat.. Mereka juga mempercayai, bahwa melakukan hal-hal buruk maka akan membuat Danyang marah dan mereka akan tertimpa musibah apabila melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh para leluhur di dusun tersebut. Adanya mitos Danyang ini, membuat masyarakat Djungga sangat menjaga tingkah laku, dan ucapan mereka agar tidak melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan. (Baca juga: https://suarapendidikan.net/riwayat-sekar-banyu-jaten-pageblug/)

  Ritual penghormatan Danyang (nama-namanya sangat banyak, tergantung acara dan permintaan tertentu untuk memanggil salah satu danyang) dilakukan oleh kesadaran setiap individu yang akan mengadakan hajatan besar maupun kecil.  Ritual meminta izin ke punden bersifat objektif di mata masyarakat walaupun banyak yang mempercayai untuk terlebih dahulu melakukan ritual dan ada beberapa orang yang tidak melakukan ritual sebelum mengadakan hajatan besar maupun kecil. Jika ada yang tidak melakukan ritual ke Punden juga tidak akan terjadi apa-apa jika itu memang dia tidak percaya dengan mitos yang ada di dusun mereka. Masyarakat yang beragama islam menganggap jika melakukan ritual-ritual tertentu itu berarti musyrik, dan jika ada masyarakat yang tidak ke punden ketika akan mengadakan hajatan terkena musibah itu berarti itu takdir dari sang pencipta bukan karena tidak ke punden terlebih dahulu dan tertimpa sial.

        Mitos yang sudah tersebar dari turun temurun ini telah diasumsi oleh masyarakat dari sejak lama, namun ketika ditanya persis kejadiannya masyarakat tidak mengerti secara langsung tetapi karena tradisi itu sudah menjadi ritual turun temurun sehingga hal itu yang melekat dimasyarakat dan terus berkembang hingga saat ini. Terbukti dari kebiasaan kebiasaan masyarakat yang ketika melakukan hajatan atau melakukan acara besar tetap melakukan tradisi nyekar kepunden untuk meminta izin.      

      Meskipun masyarakat Djungga tidak semuanya mengerti bagaimana persisnya kejadian pembabat alas desanya yang menjadi legenda Djungga namun itu semua berkembang hingga saat ini tidak hanya melalui cerita cerita yang berkembang tetapi mayoritas warga masyarakat juga melakukan sesembahan ke punden untuk rasa menghormati kepada Danyang selaku pembabat alas desa tersebut. (Haidar dkk.)