(HM Shodiq Pejuang Pendidikan – Gunung Gamping Jadi Saksinya Bagian II)
H. Syakur tergolong pengusaha sukses. Latar belakang ke-islamannya kuat. Sehingga otomatis, beliau juga sebagai salah satu tokoh penyokong perkembangan Islam di daerah Druju dan sekitarnya. Pasangan H. Syakur dan Hj. Maemunah ini melahirkan sembilan anak. Yaitu Muslikah, Musini, Salamah, Bakri, Iksan, Syaidah, , Said, Shodiq dan Sanatun. Dan dari putra ke – 8 (H. Shodiq) inilah yang akan menjadi perbincangan selanjutnya. Menyajikan sejarah daerah tidak bisa lepas dari peristiwa-peristiwa yang melatar belakanginya. Sosok HM. Shodiq, perintis pendidikan di Desa Druju juga demikian. Kisahnya tidak bisa berdiri sendiri. Dan pasti dia terdidik dari leluhurnya yang pasti juga seorang pejuang dan perintis kebaikan.
Sejak 1897 Kolonial Belanda mengeluarkan Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande op Java en Madoera, Staatsblad 1897 nomor 61, disingkat Bosreglement atau Undang-Undang Pengelolaan Hutan di Jawa dan Madura, yang disusul dengan Reglement voor den dienst van het Boschwezen op Java en Madoera, disingkat Dienst Reglement, yang menetapkan aturan tentang organisasi Jawatan Kehutanan (sekarang Perum Perhutani), maka hutan-hutan Jati di Jawa yang tadinya ditanami nenek-moyang/leluhur pribumi mulai menjadi perhatian penjajah, lalu diklaim milik pemerintah Belanda. Alasannya, melakukan pengurusan dan pengelolaan lebih baik. Mereka pun mulai afbakening. Yaitu pemancangan/pasang patok, pengukuran, pemetaan, serta menerapkan aturan tata kelola hutan. Walhasil. Berakhirnya Tanam Paksa 1870 dan keluarnya Agrarischewet, menjadi babak baru kebijakan Pemerintah Belanda di Indonesia. Opendeur Politiek (Politik Pintu Terbuka) sebagai gantinya. Yaitu membuka peluang modal asing untuk investasi (terutama dibidang perkebunan) di Nusantara. Cerdiknya penjajah Belanda, sebelum mengeluarkan UU Agraria, ribuan hektar dinyatakan sebagai kawasan hutan dan dikelola pemerintah. Untuk daerah Malang Selatan, klaim Penjajah Belanda hamparannya membentang dari Tawang Rejeni hingga pesisir Laut Selatan. Sisanya, adalah lahan sawah dan perkebunan yang dikelola investor swasta (mayoritas etnis Belanda dan Cina) serta sebagian kecil adalah perkebunan yang dikelola rakyat. Sementara Kyai Ali Munawar membuka Babatan Druju, di ujung sebelah Selatan, sekelompok pendatang yang dimotori oleh Kyai Truna Semito bin Ki Ngibrahim Tunggul Wulung membuka lahan baru di daerah Pondok Dulang, yang kini disebut Desa Sitiarjo. Ki Ngibrahim sendiri asal Juwana Jawa Tengah. Dikenal sebagai Bedhah Kerawang Desa Wonorejo Bantur Kabupaten Malang. Dia pemeluk Kristen. Dibaptis pada 6 Juli 1857 oleh Pendeta J.E. Jellesma, Pasamuan Mojowarno Jombang. ( Sri & Christ: A Study of The Indegenous Church In east Java/ Philip Van Akkeren; Translate english by Annebeth Mackei.19070. Perpusnas) . Kyai Truna Semita, putra ke-2 Ki Tunggul Wulung bersama Jema’at Swaru membabat lahan baru tersebut. Tentu dengan dukungan para Zennding ( misionaris). Pendeta Pasamuan Swaru kala itu adalah Louwerier. Diberkatinya, Kyai Truna Semita agar segera melaksanakan niatnya. Sambil menunggu jawaban dari Batavia, atas proposal yang pendeta ajukan ke pusat Pemerintahan Penjajah Belanda itu (1893). Pemerintah Hindia Belanda membalas proposal itu dengan mengeluarkan ijin tertanggal 25 Juni 1895. Namun kertas berlogo Singa tersebut baru diterima Jemaat Sitiarjo pada 11 Februari 1897. Dan Sitiarjo berkembang lebih pesat dari daerah babatan lain. Keberadaan komunitas Kristen di Sitiarjo secara langsung sangat menguntungkan pemerintah kolonial. Untuk itu, besar kemungkinan akses jalan dari Turen hingga Sitiarjo menjadi prioritas pembangunan. Diperkirakan Tahun 1900 –an. Jalan aspal pertama dibangun Pemerintah Belanda, untuk mendukung kebutuhan pengangkutan hasil hutan dan perkebunan dari wilayah Malang Selatan. Lengkap sudah. Druju sebagai basis perkembangan Islam, dan Sitiarjo basis perkembangan Kristen Jawi Wetan. . |
Segeralah Sitiarjo berkembang cepat. Juragan-juragan perkebunan merasa aman di tengah komunitas Kristen pribumi. Jejak tersebut masih dapat dilihat dari nama Desa Sekar Banyu, sebelah Selatan Sitiarjo. Sebuah bendungan air berukuran kecil yang diakui tinggalan pasangan suami-istri Tuan Pattinima dan Whilyana. Menurut cerita masyarakat setempat, karena keduanya mengelola dan tinggal di area perkebunan, maka Sang Istri membawa bunga teratai dari Belanda dan ditanam di kolam tampungan air yang ada di daerah tersebut. Orang menyebutnya Sekar banyu. Artinya, bunga yang tumbuh di air. |
Kurun waktu 1907-1919 masa Kepala Desa Dipo Sentono, hektaran wilayahnya dikuasai Jawatan Kehutanan Kolonial Belanda. Hutan Desa dan Hutan Adat yang ditumbuhi pohon jati tidak lagi bisa dijamah pribumi. Sepotong ranting pohon jati yang diambil masyarakat pribumi bisa menjadi masalah yang besar dengan hukuman yang berat. Sejumlah pos pengawasan didirikan oleh Belanda untuk menjaga keamanan hutan. Salah satunya di perbatasan Desa Druju dan Tawang Rejeni. Hingga kini oleh masyarakat disebut Jaten. (Baca juga : https://suarapendidikan.net/hm-shodiq-pejuang-pendidikan/)
Setelah Syarekat Dagang Islam (1905) yang didirikan H.Samanhudi kemudian bermunculan organisasi – organisasi kemasyarakatan lain yang menghimpun pribumi. Inti tujuanya hampir sama. Menyuarakan keadilan dan menuju kesejahteraan bersama melalui pendidikan, peningkatan taraf hidup masyarakat pribumi serta lepas dari penindasan bangsa asing. Deretan organisasi itu adalah Boedi Oetomo 1908, Persyerikatan Muhamadiyah 1912, Inditje Partij 1912, Perkumpulan Taman Siswa 1922, Perkumpulan Nahdlatoel Oelama 1926 dan puluhan yang lain.
Balik lagi pergerakan Kolonial Belanda di Malang Selatan (Sumbermanjing Wetan). Pada 1911, mereka mendirikan Kebun Percobaan Sumber Asin di Desa Harjo Kuncaran yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Kebun Percobaan Sumber Asin setara dengan Besoekisch Proefstatio (Kebun Percobaan Besuki) di Jember. Produknya adalah kopi robusta berkualitas tinggi. Hingga ada istilah Kopi Amstirdam. Yakni kependekan kata dari Kopi Ampel Gading – Sumbermanjing Wetan – Tirtoyudo – Dampit.
Tahun yang sama (1911) Wilayah Malang terserang wabah penyakit pes. Masyarakat menyebutnya sebagai Pageblug. Sampai ada istilah “ isuk lara – sore mati. Sore lara – bengi mati” (Pagi sakit – sore mati. Sore sakit – malam mati). Malang mencekam. Tidak kurang dari 2500 orang meninggal karena wabah ini. Saking menakutkannya, tak satupun dokter yang dimiliki pemerintah Belanda sukarela terjun ke Malang untuk mengatasinya. Seorang dokter yang bersahaja, lulusan School Tot Opleiding Van Inlandesche Artseen (STOVIA/ Sekolah Dokter Jawa) bernama Dokter Wahidin Soediro Hoesodo berkenan menjadi relawan. Dan berhasil mengatasi penyakit yang menyebar melalui hewan tikus itu. Memang sejak lama Dia tidak saja praktek dokter gratis untuk pribumi, tapi sambil mencari pemuda lokal yang berpotensi dan mau diberikan bea siswa untuk sekolah. Gagasan baiknya terhadap pribumi dipulikasikan di Majalah Retno Doemilah. Dokter Soetomo dan kawan-kawan sudah lama kagum dengan sosok Wahidin. Atas inisiatif Soetomo, Perkumpulan Boedi oetomo lahir pada 1908. Nama tersebut diakui terinspirasi oleh budi baik yang dilakukan Wahidin Soediro Hoesodo. Jim (bersambung )