Mat Gholil Vs Bos Fery Bangga Jadi Preman

oleh -52 views

Mat Gholil (MG), pria tambun. Bobot bersih tanpa busana lebih dari 100 kg, tinggi badan 177 cm, lingkar perut 175 cm, rambut kadang hitam- kadang putih, suara berat nge-bass dan  wajah bulat. Berani, supel, gampang akrab, tegas, kocak, cerdik, sederhana serta bangga dengan kehidupannya.

Oleh : Jim Jimmy

Bos Fery (BF) juga pria berbadan subur, tapi masih dibawah Mat Gholil 2,32 persen. Sifat dan sikap sedikit mirip. BF kalah cerewet dibanding MG kisaran 25 persen.

Siang tanpa matahari. Hanya mendung pekat menyelimuti. Mat Gholil sedang duduk di warung bakso yang dulunya pangkalan ojek. Kursi bambu yang dia duduki tak bisa mengelak. Berjam-jam menahan beban berat. MG hanya memandang jalanan yang lenggang. Sesekali motor melaju. Kemudian sepi. MG menoleh ke utara tanpa berkedip. Sebentar kemudian memutar kepala memandang ke selatan dengan tajam. Aliran sungai di bawah warung keluarkan bunyi berat tak gemercik lagi. Mungkin sudah pekat karena sampah dan polusi air limbah. Di kejauhan tampak sebuah mobil pick up hitam bergerak pelan mendekat. Senyum MG melebar. Sorot matanya bahagia. Dia hafal bahwa yang datang adalah Bos Fery. Mitra yang sekaligus rivalnya. Benar saja, tepat di depan warung mobil berhenti.

MG        : Hai ! Bagaimana kok telat datangnya

Seru Mat Gholil kepada Bos Fery

BF           : Pasar Sepi.

Jawab Bos Fery sambil mengeluarkan satu lembar uang dua ribu rupiah dan diberikan kepada GM dari pintu sebelah kiri.

MG        : Kok cuma segini?

BF           : Ya pasarnya lagi sepi.

MG        : Turun! Turun! Ceritanya bagaimana ? biar jelas.

Perintah MG kepada BF yang langsung membuka pintu dengan malas-malasan.

Mereka berduapun duduk berhadapan.

MG        : Minum kopi ya!

BF           : Okey! Alhamdulillah seharian belum ngopi.

MG memesan kopi di warung yang bersebelahan dengan dia duduk.

MG        : Kesepakatannya kan setiap lewat jalan ini setor sama saya lima ribu rupiah.

BF           : Lha gimana lagi, berbulan – bulan sejak dibuka pasarnya juga masih sepi.

MG        : Kamu kan tahu, sepanjang jalan ini dalam kekuasaan dan pengawasanku. Ada lobang aku yang perbaiki, ada yang ganggu kamu lewat aku yang melindungi, ada apa saja kamu aman mencari duit.

BF           : Sebentar… sebentar… Sampean ini kayaknya seperti yang lagi viral di media berita dan media sosial. Sampean ini modelnya seperti preman!

MG        : Lho..lo..lo..kok melebar pandanganmu. Ini kan kesepakatan bersama. Seluruh pengguna jalan ini harus bertanggung jawab terhadap perawatan, kebersihan dan kenyamanan. Dan koordinatornya kebetulan saya.

BF           : Lha sama dengan yang di beritakan banyak media. Preman!

Nada BF sedikit keras dan terkesan sinis               

MG        : Heem…Preman..Premen…kamu tahu benar arti preman? (sedikit geram). Tak beritahu kamu. Preman itu simbol perlawanan terhadap penindasan dan ketidak adilan.

BF           : Kok bisa? Bukannya tukang palak seperti sampean?

MG        : Sini telingamu (sambil menyeret tangan BF agak mendekat). Dengar baik-baik. Anak buahmu yang petani itu, coba tanya kalau pagi-pagi pergi ke sawah. Pasti mereka jawab “ Kate Mreman” (mau mreman). Tanpa malu dan bangga mereka menyebut berangkat kerja dengan mreman.

BF hanya menatap MG tanpa bicara sepatah kata, seolah menunggu penjelasan MG. Mulutnya terkatup, lapisan dagunya bertingkat tiga.

MG        : Zaman Indonesia di kuasai Kongsi Dagang Belanda VOC, pribumi sangat tertekan dengan prilaku pendatang asing tersebut. Mereka dibantu  dengan elit pribumi tertentu memonopoli alur perdagangan dengan cara apapun.  Kemudian, di antara pribumi muncul jawara-jawara dan jagoan-jagoan yang berani melawan. Sosok yang tidak mau tunduk dengan aturan yang diterapkan orang asing. Apalagi ikut bekerja dengan mereka. Maka Belanda menyebut Vrijman, atau dalam Bahasa Inggris Free Man.

BF           : Sampean kok pinter? – Dengan wajah takjub –

MG        : Aku kok…(sambil meringis)

BF           : Trus Preman yang rame sekarang itu apa? (sambil nyeruput kopi. Gelambir dagunya bergerak-gerak)

MG        : Saya teruskan… ( juga sambil minum kopi yang tinggal seteguk lalu melanjutkan omongannya). Jagoan-jagoan itu ada yang iba melihat kesengsaran pribumiT ertindas mental dan ekonominya. Sementara para pendatang dan penguasa hidup bermewah-mewahan. Maka para jawara itu menyediakan diri untuk menjadi pelindung dan jaminan keamanan bagi bangsanya sendiri. Dan kompeni beserta kroninya tidak lagi menjamah pribumi yang dijaga Vrijman.

BF           : Nah sekarang kok terbalik? Yang ditekan dan ditakuti malah rakyat?

MG        : Itu Preman Sesat.

Jawab Mat Gholil tegas. Dia bergegas berucap lagi.

MG        : Jangankan Preman bisa sesat. Pejabat, Ulama, Guru, Kyai atau apapun bisa sesat.

Mat Gholilpun berdiri dan menuju penjual kopi. Uang dua ribu dari BF masih ditambahi empat lembar dua ribuan.

Merekapun lupa bab apa yang mereka bicarakan. Tapi yang jelas mereka berpisah dengan diam-diam. Mat Gholil rugi delapan ribu rupiah untuk dua gelas kopi serta 2 pisang goreng.