HM Shodiq Druju Pejuang Pendidikan Gunung Gamping Jadi Saksinya

oleh -17 views

(Bagian I)


Alm. H. Shodiq putra ke-8 H. Syakur. (foto:Jim)

Geger perebutan tahta Kerajaan Mataram Islam berakhir dengan Perjanjian Linggar Jati 1755. Hasilnya, kerajaan dibagi dua. Keraton  Yogyakarta dipimpin Hamengkubuwono dan Keraton Surakarta (Solo) dijabat oleh Pakubuwono. Situasi kerajaan tidak  stabil karena perebutan kekuasaan antar pewaris tahta. Kubu yang merebut dan mempertahankan kekuasaan kadang minta bantuan Kolonial Belanda. Tentu tidak gratis. Sejumlah imbalan yang mereka minta, lambat laun membuat mereka mendapatkan lebih dari kepemilikan pribumi. Apalagi ditambah hak-hak istimewa yang diminta kepada raja-raja yang menggunakan jasa  mereka. Hingga meletus Perang Jawa 1825 -1830 yang dikenal sebagai Perang Diponegoro.  Kolonial Belanda bangkrut karena perang ini.   

Kebangkrutan Kolonial Belanda melahirkan kebijakan culturstellsel (Tanam Paksa – 1830) untuk memulihkannya. Artinya, 1/5 dari lahan pertanian dan perkebunan yang dimiliki pribumi wajib ditanami komoditi ekspor. Seperti kopi, coklat, kakau, cengkeh, tebu dan lainya.  Pekerjanya pun dipaksa (kerja paksa). Untuk memuluskan program culturstellsel tersebut, penduduk Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta (Jawa Tengah) yang sebagian besar adalah prajurit Pangeran Diponegoro menjadi sasaran pertama. Mereka di sebar ke berbagai tempat di Jawa , dipaksa membuka lahan baru untuk mewujudkan program kolonial itu.(Baca Juga : https://suarapendidikan.net/riwayat-sekar-banyu-jaten-pageblug/)

Inilah teori yang berat kemungkinannya kenapa sosok Kyai Ali Munawar yang berasal dari daerah Muntilan (Jawa Tengah) membuka lahan yang kini disebut  Desa Druju, Kecamatan Sumbermanjing Wetan,  Kabupaten, Malang Jawa Timur.  Tanam Paksa berakhir pada 1870. Perkebunan yang empat puluh tahun dikelola dengan sejumlah pekerja dari berbagai daerah di Jawa, menjadi permukiman yang padat. Tak heran jika Dipo Sentono, Kepala Desa Pertama Desa Druju (1907-1919) berasal dari Purworejo Jawa Tengah.

Bekas jalan setapak Tawang Rejeni meneju Babakan Druju. Foto : Haidar

Konon, Kyai Ali Munawar bersama pekerja lain ketika membersihkan calon lahan pertanian itu menemui banyak semak dari tumbuhan Jaruju. Tanaman  dengan nama latin Acanthus Ilicifolius, khas tumbuhan rawa, pesisir dan tropis. Kadang disebut Daruju atau Daruju Laut (Mangrove Acanthus Linn) . Singkatnya, Druju. Maklum, sejumlah peneliti mengatakan bahwa daerah Sumbermanjing Wetan ribuan tahun yang lalu merupakan lautan. Sehingga tumbuhan yang daunnya bergerigi itu, tumbuh subur menyebar di daerah tersebut. Sebelum menjadi desa yang berdiri sendiri, kerap disebut daerah Babatan Druju bagian dari Desa Tawang Rejeni, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.

Para pekerja pendatang dari berbagai penjuru Jawa yang sudah 40 tahun tinggal di Babatan Druju, meski Tanam Paksa dan Kerja Paksa sudah berakhir pada 1870, memutuskan tetap tinggal di daerah yang telah dibuka tersebut. Kembali ke daerah asal yang sudah puluhan tahun ditingggalkan tentunya akan merintis sumber kehidupan dari awal lagi. Meski ada juga yang memutuskan untuk kembali atau pindah.  Kyai Ali Munawar sendiri, yang disebut sebagai Bedah Kerawang Babatan Druju akhirnya pindah ke Banyuwangi.

Sebagai daerah perkebunan yang potensial, Babatan Druju menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar untuk datang dan menetap. Di sisi lain, kebijakan Belanda yang sudah mengesahkan Suikerwet ( Undang- Undang Gula) dan Agrarischewet ( Undang-Undang Agraria) pada 1870. Regulasi ini menjadi pintu para investor swasta (terutama etnis Cina) ikut serta  terlibat dalam industri gula dan diberikan perlakuan istimewa dibanding pribumi. Faktanya, puluhan pabrik gula bermunculan oleh pendatang Cina yang memang telah berpengalaman memproduksi gula tebu. Tan Tjwan Bie pada 1905 mendirikan Pabrik Gula Kebon Agung, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Sementara Oei Tiong Ham Concern 1906 mendirikan Pabrik Gula Krebet, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang.

Gunung Gamping Druju . Foto : Haidar

Pribumi menggeliat. Diawali dari kumpulan pedagang batik di Surakarta, Kyai Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI -1905). Sebagian besar pedagang batik Surakarta memang beragama Islam yang berhadapan dengan pendatang Belanda dan bangsa lain yang beragama selain Islam. Tujuannya jelas melawan ketidakadilan kebijakan Pemerintah Belanda , melindungi pedagang pribumi dan memajukan kesejahteraan rakyat. Gerakan Kyai Samanhudi menginspirasi dan memotivasi pedagang pribumi lain. Maka bertebaran pengusaha-pengusaha lokal untuk melakukan hal yang sama dengan SDI. Intinya, permberdayaan rakyat menuju kesejahteraan bersama. Hal tersebut jelas bertentangan dengan tujuan Pemerintah Belanda yang menekan pribumi dengan maksud akhir menguasai tanah dan airnya.  Percikan gagasan Kyai Samanhudi ini, ternyata menjadi bagian penting Perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang dicapai 40 tahun kemudian. Tepatnya, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,  17 Agustus 1945.

Semangat juang SDI, membangkitkan pengusaha-pengusaha  pribumi Islam se-antero Nusantara. Adalah H. Syakur, pedagang tembakau asal Gersik, dengan semangat juang itu berangkat menjajagi wilayah perkebunan Babatan Druju. Pilihannya tepat.  Dagangan tembakaunya sangat diminati. Laris – manis. Setelah itu, Suami dari Hj. Maimunah itu mengembangkan komoditi selain tembakau. Di antaranya kopi dan tebu. Istimewanya lagi, Desa Druju dikepung Pegunungan Kapur (Gunung Gamping) yang materialnya sangat dibutuhkan oleh pabrik gula. Meski untuk memasok batu gamping ke PG. Krebet tidak mudah. Harus menunggu pihak pabrik kewalahan dan meminta pasokan dari rakyat.

H. Syakur tergolong pengusaha sukses. Latar belakang ke-islamannya kuat. Sehingga otomatis, beliau juga sebagai salah satu tokoh penyokong perkembangan Islam di daerah Druju dan sekitarnya. Pasangan H. Syakur dan Hj. Maemunah ini melahirkan sembilan anak. Yaitu Muslikah, Musini, Salamah, Bakri, Iksan, Syaidah, Said, Shodiq, dan Sanatun. Dan dari putra ke – 8 (H. Shodiq) inilah yang akan menjadi perbincangan selanjutnya. Jim (Bersambung)