Putusan MK Ancam Madrasah Swasta

oleh -10 views

Kota Batu memiliki setidaknya 14 Madrasah Ibtida’iyah (setingkat sekolah dasar). Semuanya diselenggarakan masyarakat. Alias swasta. Belum ada Madrasah Ibtida’iyah Negeri di Kota Batu. Artinya, negara belum hadir menyentuh sekolah yang mempunyai ciri khas khusus tersebut. Perkembangan madrasah se – Kota Batu merupakan bukti peran serta masyarakat cukup tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Madrasah Ibtida’iyah Swasta di kota wisata ini semakin diminati orang tua untuk mendidik putra-putrinya. Sebaliknya, sejumlah Sekolah Dasar Negeri di Kota Batu terpaksa dimerger (digabung) dengan SDN lain karena jumlah muridnya tidak memenuhi syarat.

Kemudian keluar putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mewajibkan pendidikan dasar 9 tahun untuk semua anak, baik di sekolah negeri maupun swasta yang didalamnya ada madrasah. Memang, putusan itu merupakan langkah penting dalam mempertegas hak konstitusional warga negara atas pendidikan. Ini adalah kabar baik. Negara hadir untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapat pendidikan dasar yang layak, tanpa terkendala biaya atau status sosial.

Namun, kebijakan ini menyisakan persoalan bagi sekolah-sekolah swasta (termasuk madrasah), terutama yang selama ini bergantung pada iuran siswa untuk operasional harian. Sekolah/swasta, yang jumlahnya tidak sedikit, ikut berperan besar dalam menopang sistem pendidikan nasional. Banyak di antaranya hadir karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri.

Baca juga : https://news.detik.com/berita/d-7940096/sikap-pemerintah-usai-mk-perintahkan-sd-smp-swasta-gratis

Masalah muncul ketika kewajiban pendidikan gratis juga diberlakukan untuk sekolah swasta tanpa diiringi mekanisme pendanaan yang memadai. Bagi sekolah swasta kecil dan menengah, yang tidak memiliki sokongan dana yayasan besar, kebijakan ini bisa menjadi ancaman eksistensi. Sementara itu, sekolah swasta elite yang berbiaya tinggi dan menawarkan mutu pendidikan unggul justru tetap diminati. Masyarakat bersedia membayar mahal demi kualitas, kurikulum internasional, atau nilai-nilai khas yang ditawarkan.

Baca juga

Fakta ini menunjukkan bahwa pemerataan akses pendidikan harus dibarengi dengan keberagaman pilihan. Pendidikan bukan hanya soal kuantitas, tetapi juga kualitas. Maka, alih-alih menyeragamkan kebijakan tanpa mempertimbangkan realitas lapangan, pemerintah perlu menyediakan dukungan nyata bagi sekolah swasta, misalnya melalui bantuan operasional (BOS) yang adil, insentif pajak, atau kemitraan dalam penyediaan tenaga pendidik.

Sebagai pembanding, Jepang juga menerapkan pendidikan dasar wajib selama 9 tahun (6 tahun SD dan 3 tahun SMP). Namun, pemerintah Jepang memberikan subsidi yang merata, termasuk bagi sekolah swasta yang memenuhi standar. Bahkan di beberapa negara Eropa seperti Belanda dan Belgia, sekolah swasta yang diakui negara berhak atas pendanaan setara dengan sekolah negeri, dengan tetap mempertahankan ciri khas kurikulumnya. Model ini memberi ruang pada keberagaman tanpa mengorbankan aksesibilitas.https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4gepyd5gl3o

Pelajaran penting dari negara-negara tersebut adalah perlunya keseimbangan antara tanggung jawab negara menjamin pendidikan dasar dan peran masyarakat dalam menyediakan alternatif pendidikan. Pemerintah tidak harus menjadi satu-satunya penyedia layanan, tapi harus menjadi pengatur dan penjamin keadilan dalam sistem pendidikan.

Dengan demikian, implementasi putusan MK ini seharusnya tidak serta-merta membebani sekolah swasta, melainkan menjadi momentum memperkuat kemitraan negara dengan masyarakat. Pendidikan dasar wajib 9 tahun adalah cita-cita bersama. Agar tidak menjadi beban sepihak, perlu komitmen bersama untuk membangun sistem yang adil, beragam, dan bermutu.

Penulis : Ulul Azmi, S.Ag. Pemimpin Umum Media Suara Pendidikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *