MACAPATAN CUNGRANG BENTENG TRADISI PASURUAN

oleh -14 views
Ki Erwin Guno Asmoro, Pegiat Budaya Pasuruan. Foto : Doc.Istimewa

Wilayah Kabupaten Pasuruan tergolong sangat Istimewa. Membentang dari lereng Gunung Arjuna, Gunung Bromo dan Penanggungan hingga ke  ujung laut Selat Madura. Memiliki daerah yang bersuhu sejuk dan dingin, sekaligus mempunyai daerah pantai yang suhunya panas. Budaya masyarakatnya beragam. Dari yang religius Islam hingga religius Hindu – Jawa, semuanya ada di Kabupaten seluas 1474,015 kilometer persegi itu.Yang menakjubkan lagi, Hari Jadi Kabupaten Pasuruan dinisbahkan atas Pendirian Prasasti di Desa Cungrang (yang saat ini dikenal dengan Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupten Pasuruan. Lereng Timur Laut Gunung Pawitra (Penanggungan). Penanggalan prasasti  yang menyebut Jum’at Pahing, 18 September 929 Masehi ditetapkan sebagai Hari Jadi Pasuruan. September Tahun 2025 ini Kabupaten Pasuruan akan berumur 1096 tahun.

“ Kami memiliki komunitas yang rutin berkumpul untuk membaca macapat di area Prasasti Cungrang,”  Erwin Supriyanto, pegiat budaya kepada SP membuka pembicaraan.  Ki Erwin  Guno Asmoro — nama kondang di dunia pedalangan –menerangkan, bahwa setiap Jum’at Kliwon sejumlah orang dari berbagai daerah berkumpul di pendapa yang terletak tepat  menanungi batu prasasti berada. Kegiatan Jum’at Kliwon itu diisi dengan membaca macapat secara bergantian. Isi macapat didominasi pitutur – luhur yang ditulis dalam bentuk tembang. Pria yang dikenal sebagai salah satu pewaris  Wayang Gagrag Porongan ini,  bersepakat dengan komunitasnya untuk menjaga serta menggaungkan tradisi di Wilayah Kabupaten Pasuruan di tengah laju modernitas yang tak terbendung. “ Kami akan berjuang hingga pemerintah daerah menjadikan tradisi nenek moyang dapat masuk materi pembelajaran ,” jelas lulusan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surabaya itu.

Dukungan utama pelaksanaan kegiatan rutin Macapat Cungrang tak lepas dari juru pelihara peningglan Mpu Sindok yang berangka tahun 18 September 929 Masehi yaitu Ani Wijiastutik. Menurut keterangan Ani, secara turun-menurun keluarganya mendapatkan amanat untuk menjaga, memelihara dan melestarikan prasasti tersebut. “ Prasasti ini sangat penting artinya bagi seluruh masyarakat Kabupaten Pasuruan. Pejabat ataupun masyarakat tak terkecuali. Karena batu bertulis ini telah diakui sebagai cikal bakal Pasuruan,” tegas Ani. Faktanya, bukti sejarah yang di daftar Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan bernomor : 14/PSA/1988 dengan titik koordinat UTM : 49M 685885 9161793 ditetapkan sebagai  Hari Jadi Kabupaten Pasuruan berdasarkan, Peraturan Daerah Kabupten Pasuruan No 8 Tahun 2007.

Lokasi Prasasti Cungrang, terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, memang secara spisifik tidak menyebut nama Pasuruan. Namun tinjauan sejarah menguatkan bahwa cikal bakalnya adalah Anugrah Mpu Sindok kepada Masyarakat Cungrang (sekarang Sukci) yang dibebaskan dari pajak karena telah berjasa merawat dan memelihara tempat peribadatan di Pawitra (Gunung Penanggungan). “Saya sangat mengapresiasi Macapatan Cungrang yang rutin melaksanaan kegiatan di Jumat Kliwon. Tapi untuk memasukkan tradisi ke mata pelajaran muatan lokal, butuh tukar pendapat dengan kami.” Tanggapan Ki Sutopo, pegiat macapat di Kota Batu melihat geliat budayawan di Prigen itu. Pantauan Suara Pendidikan, Ki Sutopo memang mendampingi lahirnya buku pelajaran muatan lokan materi  Bahasa Jawa untuk sekolah dasar di Kota Batu.

Pendapa yang menaungi Prasasti Cungrang. Foto : Istimewa

“ Prosesnya panjang dan harus sabar,” cerita Sutopo yang produktif menghasilkan karya macapat. Budayawan asal Temas Kota Batu itu sambil merinci bagaimana tahapan membuat muatan lokal. Intinya, budayawan merumuskan tradisi mana yang akan diajarkan. Kemudian disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. Setelah itu paparan ke dinas terkait, bila perlu ke kepala daerah. Tahap selanjutnya adalah mengumpulkan guru Bahasa Jawa melalui Kelompok Kerja Guru  untuk sosialisasi. “ Tidak cukup enam bulan, itu belum sampai uji kelayakan serta menerbitkan,” lanjut Sutopo. “ Alhamdulillah, kami bersama guru Bahasa Jawa se Kota Batu sudah sukses menerbitkan muatan lokal yang khas. Dan syukurnya lagi, Macapat juga masuk di materi pembelajaran. Tapi risikonya kami harus melatih para guru untuk mampu nembang macapat,” pungkas Sutopo dengan wajah Sumringah.

Reporter          : Gambleh dan Tim

Editor              : Jim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *