
Peringatan 117 Tahun Kebangkitan Nasional
“ Pendidikan + Dunia Usaha + Pers + Politik + … = Kebangkitan “
Bermula dari sebuah kesadaran individu lalu menjadi gerakan bersama. Berawal dari jagongan rutin Senin Kliwonan, melahirkan perubahan. Wahidin Soediro Hoesodo, Pelajar STOVIA ( School Tot Opleiding Voor Inlandsche Artsen) yang dikenal sebagai sekolah dokter Jawa bergerak keliling Jawa mencari anak berpotensi untuk di sekolahkan atas biaya pribadinya. Dia sadar, bahwa hanya dengan banyak masyarakat yang terdidik kondisi rakyat akan merdeka dan tidak direndahkan bangsa lain. Makin luas gaungnya ketika Wahidin menjadi jajaran redaktur Media Retno Doemilah. Pemikiran dan gagasannya dibaca lebih banyak orang. Tulisanya yang kreatif, inovatif, dan mencerdaskan mampu menggugah kesadaran serta memotivasi pribumi untuk berubah lebih baik.
Terinspirasi Dokter Wahidin Soediro Hoesodo, atas usul Soetomo, Goenawan Mangun Soebroto dan Soeradji yang juga Pelajar STOVIA, maka 20 Mei 1908 Perkumpulan Boedi Oetomo lahir sebagai organisasi. Tonggak kebangkitan nasionalpun dimulai. Boedi Oetomo, yang berarti perbuatan mulia. Bidang geraknya berkembang tidak saja pendidikan, tapi ekonomi, sosial, budaya serta politik. Organisasi yang awalnya elit dari kalangan bangsawan Jawa berubah menjadi untuk semua kalangan pribumi. Kiprah Boedi Oetomo menyita perhatian Pemerintah Belanda dan juga banyak kalangan pribumi.
Sebelum Boedi Oetomo, sebuah organisasi pribumi lahir sebagai perlawanan terhadap kebijakan Belanda. Memang, pasca Perang Jawa atau yang kondang disebut Perang Diponegoro (1825 – 1830) Pemerintah Belanda bangkrut dengan menanggung hutang yang menumpuk. Untuk memulihkan kondisi tersebut, Belanda mengeluarkan kebijakan Culturstelsel (Tanam Paksa 1830). Artinya, 20 % lahan yang dimiliki petani harus ditanami tanaman ekspor. Di antaranya kopi, cengkeh, teh, coklat dan lainnya. Nahasnya, program tanam paksa diikuti dengan kerja paksa. Baca Juga : https://suarapendidikan.net/druju-masa-kompeni-belanda/
Hingga pada 1870, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Suikerwet (Undang-Undang Gula/UUG) dan Agrarischewet (Undang-Undang Agraria/UUA) pada 1870. Undang-Undang tersebut membuka peluang investor swasta dalam pegelolaan produksi gula. Bukan sebatas itu, untuk memasok bahan baku, investor swasta itu diberi kemudahan untuk membuka lahan perkebunan. Namun, investor swasta yang diutamakan bukanlah pribumi tapi segolongan etnis Cina. Maka sempurnalah penderitaan pribumi oleh kelakuan Belanda.
H. Samanhudi, trah Kesultanan Surakarta sudah tidak tahan melihat penderitaan tersebut. Monopoli seluruh usaha dan perdagangan dikuasai oleh Pemerintah Belanda. Segera, Alumni pesantren itu membentuk Serikat Dagang Islam (1905). Wadah pedagang yang bertujuan melindungi pedagang pribumi dan memiliki cita-cita mencapai kesejahteraan bersama dan melepaskan diri dari kungkungan Kolonial Belanda. Meski dipandang sebagai gerakan yang bernafaskan satu golongan Islam saja, tapi faktanya mampu membangkitkan keberanian pribumi lain untuk membentuk kelompok dan mengorganisir diri untuk melawan Kebijakan Belanda.
Tiga tahun kemudian, Boedi Oetomo lahir (1908). Sebagai wadah beragam latar-belakang. Baik dari agama, etnis, suku atau kepercayaan tertentu. Mungkin hal ini yang menjadi pertimbangan penentuan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, bertepatan dengan pendirian Boedi Oetomo. Selanjutnya, bak jamur di musim hujan. Sejumlah wadah organisasi massa dengan nama perkumpulan, persyerikatan ataupun paguyuban bermunculan. Tercatat, tahun 1912 Indische Partij dan Persyerikatan Muhamadiyah, Trikoro Darmo pada 1915, Perkumpulan Nahdlatul Ulama 1926 dan puluhan organisasi lain. Meski kadang masih bersifat partisan dan golongan, semuanya mengangkat semangat yang sama yaitu mengangkat harkat dan martabat pribumi serta lepas dari penindasan Bangsa Asing. Oleh karenanya, tampak pergerakannya seolah seragam. Yaitu melalui pendidikan, ekonomi (bidang usaha), publikasi (pers), politik dan bidang lainnya. Tiga puluh tujuh tahun berproses. Tepat pada 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka.
Fakta berbicara. Berawal dari jagongan lahir gagasan-gagasan brilian dan menghasilkan perubahan yang besar. Njagong adalah tradisi Nusantara. Ketika seseorang mengadakan hajatan pernikahan, kelahiran atau yang lain, maka masyarakat sekitar berduyun-duyun Njagong. Kalaupun tidak ada acara hajatan, kebiasan duduk berkumpul lalu ngobrol ke sana ke mari juga bisa dikatakan sebagai Jagongan. Perbincangan saat jagongan awalnya memang tak berarah. Tapi jika ada topik yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka pembicaraan akan terfokus otomatis.
Jagongan adalah kebiasaan efektif dan sederhana. Tidak mahal. Nonformal. Lebih akrab dan kekeluargaan. Kadang masalah serius tapi tersaji dengan guyonan yang penuh canda-tawa. Persis para kyai ketika bercerita neraka dengan kelakar. Atau para da’i yang mengabarkan kematian dengan bumbu kisah kocak. Sehingga masalah yang berat dan serius terasa lebih ringan. Memang, tak jarang terjadi perdebatan. Tapi semua berakhir dengan sesruput kopi dan sepotong pisang goreng sebagai hidangannya.
Seiring waktu, Tradisi Jagongan terkikis oleh kemajuan jaman. Jalur komunikasi antar warga terdefinisi makin rumit. Jagongan bermutasi menjadi diskusi, FGD (forum grup discusion), seminar, audensi, hearing atau apalah. Yang jelas, semuanya itu intinya adalah ngobrol dengan topik tertentu. Lebih serius. Sangat formal. Individual dan jauh dari kata akrab apalagi kekeluargaan. Satu lagi, lebih mahal.
Njagong Maton bersama MBah Jim ( Suara Pendidikan). Adalah upaya Membangun Kota Batu dengan pendekatan tradisional. Suara Pendidikan yang lahir sejak Desember 2011 di Kota Batu, sedang mencari formula baru untuk membangkitkan kembali tradisi ngobrol yang terarah (maton). Sebagai media yang mengklaim jargon Kreatif – Inovatif – Mencerdaskan, berharap Njagong Maton kali pertama ini dapat merumuskan prototipe yang akan dilakukan secara berkelanjutan. Artinya, setiap satu bulan Mbah Jim (Suara Pendidikan) akan berkeliling di setiap desa dan kelurahan di Kota Batu. Tujuannya, mendengar pendapat, saran, kritikan serta solusi dari semua lapisan masyarakat tentang perjalanan pemerintahan dalam membangun Kota Batu. Kemudian dipublikasikan secara masif sebagai bentuk informasi dan koreksi. Meminjam jargon Cak Soleh (lawyer) “ No Viral No Justice”. Tidak viral maka tidak ada keadilan. Dan Momen Peringatan ke-117 Kebangkitan Nasional yang dilaksanakan oleh Suara pendidikan bersama Persatuan Wartawan Indonesia Malang Raya pada 20 Mei 2025 ini adalah mengawali program Njagong Maton yang telah kami rancang.